Kamis, 21 Oktober 2010

Jatuh Lebih dari Cinta (part 2)

Kenapa gue anggep begitu?
1 alasan yang paling mendasar adalah pengalaman buruk. Ya,gue gak mau pengalaman buruk itu terulang. Jatuh cinta yang gue alami dengan mudah akan berakhir dengan mudah pula, bahkan sering kali berakhir tragis, menyedihkan, menyeramkan!

Itulah kenapa gue mati-matian untuk tidak mudah jatuh cinta, walaupun akhirnya gagal juga.
Rena berhasil bikin gue jatuh cinta, dengan proses yang jauh lebih mudah.
Gue jatuh cinta ke dia secara perlahan, melalui bermacam-macam pertimbangan, tapi yang aneh disini, gue bahkan tidak mengawali jatuh cinta ini dari ketika gue meminta nomor hapenya.
Gue jatuh cinta gak didahului oleh sebuah genggaman erat, saling memandang, apa lagi berciuman.
Gue jatuh cinta diam-diam, terpendam dalam sebuah ketertarikan. Rasa itu datang jauh sebelum gue berani menatap matanya, jauh sebelum gue berani ngobrol berlama-lama dengan dia, jauh sebelum gue kepikiran untuk menggenggam tangannya, dan tentunya sebelum gue punya niat buat mencium pipinya.
Gue jatuh cinta ketika mulai mengaguminya...

Dan inilah jawaban dari kebingungan gue. Jatuh cinta memang simpel dan itu gak pernah salah.
Yang salah adalah proses dimana loe mengawali jatuh cinta itu. Loe jatuh cinta ketika loe pengen cium dia? Loe salah besar...! Itulah pemikiran anak muda se-masa sekolah..

Jika jatuh cinta datang semudah itu, gue bakal kebingungan memberi nama pada rasa yang gue pelihara saat ini. Gue punya rasa yang dateng lebih awal. Jauh sebelum gue punya niat apapun. Dan saat ini gue jatuh pada sebuah rasa yang lebih dari 'cinta'...

Saat ini gue berani menatap matanya, itu artinya gue jatuh 'lebih dari cinta...'?

Semoga ada yang memahami maksud dari tulisan jelek ini...

Dmn jatuh cinta yang sebenernya bukan ketika Loe menghabiskan bermenit-menit bareng dia. Bukan ketika Loe berpandangan dengan dia. Bukan ketika Loe ngajak dia pergi. Bukan ketika Loe menggenggam tangannya, atau mungkin bukan ketika Loe berhasil mendapatkan ciuman dari dia.

Jauh lebih dalam dari semua itu...
Loe bakal ngerasa pantas untuk sulit jatuh cinta.

Selamat malam


Spesial thanx to Rena yang berhasil membuatku ''Jatuh Lebih dari Cinta'' saat ini...

Jatuh Lebih dari Cinta (part 1)

Jatuh cinta adalah sebuah kejadian yang pasti akan membekas di ingatan kita. Apa sebenarnya jatuh cinta?
Kalian ingat kapan pertama kali kalian jatuh cinta?
Ketika masih SD? SMP? Atau SMA?
kenapa itu bisa terjadi?
Mungkin buat kalian yang pernah ngerasain cimon (cinta monyet) pas masih kecil, kalian akan inget dimana saat itu kalian se-kelas,mulai lirik-lirikan mata, main bareng,lari-larian, dan itu kalian namakan jatuh cinta.
Atau ketika sudah agak gede, kalian terlibat dalam 1 acara, kalian ketemu, ngobrol singkat, tukeran nomor hape, ngdate , dan... Kalian sebut itu jatuh cinta??
Atau ketika kalian lagi pusing mikirin ujian,kalian ketemu di satu kelas tambahan,atau les sore, kalian mulai deket,dan itu jatuh cinta??
Dan banyak cerita lain yang menjadi indikasi loe jatuh cinta dengan melalui proses yang sebenarnya sangat sederhana.

gue sendiri mengalaminya, ketika gue ketemu,tertarik, deket, dan gue jatuh cinta.
Itu di masa-masa kejayaan gue dulu,ketika gue masih bisa melakukan apapun tanpa berbenturan dengan kesibukan selain bersenang-senang.

Namun gue akhirnya sadar kalo sebenernya jatuh cinta itu memang gak simpel. Jatuh cinta yang simpel itu adalah kesalahan pengartian yang sudah menjadi wajar,atau disebut 'salah kaprah' oleh orang jawa.

Saat itu gue melalui semua step di atas. Gue sekelas sama dia, gue bisa kapanpun ngobrol sama dia, gue bisa jadi partner dia di organisasi kampus, gue bisa berbagi cerita, dan gue gak ngerasa jatuh cinta. Gue mungkin memang merasa bisa menamai sebuah perasaan khusus ini dengan 'tertarik'. Karena diam-diam gue mulai sering memerhatikan dia, mulai sering berharap bisa ngeliat dia tersenyum, atau mungkin saat gue menunggu dia mencuri pandang ke gue. Namun, gue ngerasa gak punya alasan yang kuat untuk mengulangi masa 'salah kaprah' gue sewaktu SMA. Saat itu, jatuh cinta datang dengan mudah. Saat gue tertarik, ajak ngedate, pegang tangannya, mulai kepikiran dan terbayang-bayang, saat itu gue bilang itu jatuh cinta. Kasus lain ketika gue berani memandang matanya, meraih tangannya, mungkin mencium pipinya,atau dicium olehnya, dan itu jatuh cinta!

Akhirnya, gue bingung sendirian ketika gue kembali ke step dimana otak gue mulai memproduksi bayangan tentang dirinya,senyumnya, kata-katanya, bahkan tingkahnya ketika sedang asik bergurau dengan teman-tamannya. Semua terekam jelas di sini (menunjuk kepala).

Gue kembali berada dalam sebuah dilematika yang menjebak gue pada situasi dimana anggapan di otak gue gak sinkron dengan kondisi real gue.

Gue pusing, galau, ragu, takut, marah, emosi, bahagia, stres, dan akhirnya gue menyerah pada keadaan. Gue mungkin gak bisa menolak saat jatuh cinta itu datang.
Untuk itu gue perlu pembelaan yang jelas untuk mematahkan anggapan gue bahwa jatuh cinta itu datang dengan mudah...


bersambung...

Jumat, 08 Oktober 2010

Seberkas Kisah Lalu 2

“kamu telat 2 menit…” ucap Rena menyambut kedatangan Edo.
“Cuma dua menit. Ngapain ngajak ketemu di sini? Gerimis gini juga. Kan kita bisa ketemu di dalem kalau cuma buat ngobrol?” jawab Edo.
“Aku pengen ngomong sesuatu ke kamu, Do. Penting… “ ucap Rena sambil menatap tajam mata Edo.
“Ngomong apa?” Tanya Edo datar.
Rena berdiri. Tepat di depannya kini sesosok manusia yang amat dia sayangi sedang menatapnya. Bola mata Rena mulai berair. Hatinya mulai tak padu dengan pikirannya. Otaknya terus mengirimkan sinyal agar Rena segera mengutarakan isi hatinya. Namun hatinya hanya bisa menangis ketika tersadar bahwa di depannya kini ada orang yang sudah menghancurkan berjuta harapan yang dia bangun selama ini.
Beberapa saat sampai kedua mata itu beradu lebih dalam. Rena tetap terdiam dan tak mampu berkata-kata. Sedangkan Edo mulai membalas tatapan tajam Rena penuh arti.
“Aku sayang kamu, Ren…” ucap Edo sambil memegang tangan Rena. Rena memalingkan muka, tertunduk.
“Tapi aku takut aku bakal kehilangan semua rasa nyaman ini kalau kita berhenti bersahabat,” lanjut Edo sambil mengangkat dagu Rena yang seketika tertunduk.
“Sekarang semuanya telah berubah dan mungkin memang kita ditakdirkan hanya bersahabat,” lanjut Edo.
Pelukan Edo mengubah gerimis di taman itu menjadi atmosfer cinta yang begitu dalam. Rena seakan menemukan kembali puing-puing yang telah hilang. Dia hanya tak bisa mengungkapkan apa yang sedang dia rasakan. Perasaan yang bercampur antara bahagia, sedih, dan sedikit penyesalan.
Bahagia karena tanda tanya besar tentang Edo kini sudah menemukan jawaban. Sedih karena yang ada di depannya adalah orang yang kini tak mungkin dia miliki. Menyesal karena andai kejadian ini terjadi sebelum Vina datang, mungkin tidak akan se-tragis ini jadinya.
“Kini aku gak bisa mencintaimu lebih dari sahabat karena ada Vina yang menempati posisi itu sekarang,” ucap Edo sambil melepas pelukannya.
Hanya air mata yang menjadi satu-satunya ekspresi batin dari Rena. Hatinya lebih hancur dari sebelumnya. Dia sudah bisa menarik napas lega, tetapi dia tak bisa melepaskan rasa itu begitu saja…
***
Kini sudah setahun lebih sejak kejadian malam itu. Semua hanya menjadi kenangan antara Rena dan Edo. Kehidupan mereka pun sudah jauh berbeda dari saat mereka dekat dulu. Rena kuliah di Jogja dan Edo di Solo. Meski jarak tak begitu jauh, nampaknya kejadian malam itu membuat jarak hati keduanya benar-benar terpisah. Kini Edo kembali setelah kehilangan Vina, sedangkan Rena sudah menemukan Diaz, seorang yang mampu mencintainya setulus hati dan apa adanya.
“Ren…!”
Suara itu membuyarkan lamunan Rena akan masa lalunya. Sesosok pria berkemeja putih terlihat melangkahkan kaki keluar dari mobil silver yang tiba-tiba sudah terparkir di depan rumah Rena. Suara itu sangat ia kenal. Dia Edo.
“Apa kabar?” Tanya Edo sambil menyodorkan bunga yang semula disembunyikan di balik punggungnya.
“Baik…” jawab Rena datar.
Beberapa saat dalam keheningan. Mereka hanya duduk dan sibuk dengan sesuatu yang mereka pikirkan sendiri.
“Rasa ini gak pernah berubah sampai sekarang, atau mungkin sampai kapanpun,” ucap Edo. Matanya menerawang ke langit kelabu sore itu. Rena menoleh dan menatap Edo.
“Aku pengen kita bisa deket lagi kayak dulu,” lanjut Edo. Tangannya meraih tangan Rena.
“Aku pengen kamu kembali menjadi orang terdekat di hidupku…”
Rena terdiam dan sesaat kemudian terlontar senyum dari bibir manisnya. Pikirannya kembali melayang, mengingat kembali apa yang pernah terjadi di antara mereka. Dia menarik tangannya dan memalingkan muka. Senyum itu semakin merekah.
Saat itu dia tersadar akan satu hal. Edo hanyalah seberkas kisah lalu buat Rena. Mungkin ada sisa kepingan rasa itu di hati Rena, tapi dia juga tersadar bahwa itu hanya satu titik noda yang tertoreh dalam lembaran besar cintanya untuk Diaz.
“Kita udah punya pilihan masing-masing. Aku hanya berharap semoga ini menjadi yang terbaik buat kita semua…” ucap Rena Lirih…

Seberkas Kisah Lalu

Gerimis masih menghiasi kota Jogja sore itu ketika Rena terlarut dalam renungannya sepulang kuliah. Tak terasa yang dihadapinya kini telah berubah. Dunia yang selama ini dilaluinya sendirian, dengan cinta yang diam-diam, kini tergantikan oleh suguhan cinta dari seseorang yang selalu ada di sampingnya.
Adalah Diaz, kekasih Rena yang baru dipacarinya seminggu ini. Diaz lah yang kini selalu ada di setiap detik waktu Rena. Dia, yang sebenarnya orang yang baru Rena kenal, kini mengubah hampir semua kisah yang telah terjadi dalam hidup Rena. Cinta diam-diam yang selama ini terjaga rapat di hati Rena perlahan mulai terkoyak karena Diaz.
Rena sibuk memandangi titik-titik air yang berjatuhan. Pikirannya jauh melayang di antara puing-puing memori yang mulai menghilang, atau lebih pantas jika dikatakan “dihilangkan”. Gerimis seperti inilah yang dulu pernah jadi saksi kisah tak sampai yang pernah terjadi antara dia dan Edo, teman Rena sejak kecil.
Bertahun- tahun rena memendam perasaannya kepada Edo, seorang dengan pembawaan kalem, cool, dan menurut Rena sangat luar biasa mempesonakan hatinya. Intensitas pertemuan dan kebiasaan lah yang menumbuhkan rasa itu. Sejak penghujung SMP, mungkin sampai saat ini.
“Ren, kamu ada kegiatan gak sore ini?” bunyi sms dari Edo.
“Gak ada, knp?” balas Rena.
“Punya waktu buat aku? Ntar sore aku mampir ke rumahmu,” Edo membalas.
Selalu seperti itu sejak pertama Rena mengenalnya. Dia seakan punya cara sendiri untuk menjalani hidupnya dan tak pernah mempedulikan orang lain dengan kehidupan mereka yang pasti berbeda dengan cara hidup Edo. Begitu jugalah yang sedang Rena pikirkan tentang Edo.
“Aku harus gimana, Fah?” Tanya Rena kepada Iffah, sahabatnya semasa SMA.
“Ya kamu harus katakan apa yang sebenernya kamu rasain, kalau kamu suka sama dia,” jawab Iffah.
“Aku cewek, Fah. Masa’ aku harus bilang kalau aku suka sama dia? terang-terang aku tahu kalau dia udah pacaran sama Vina,” jawab Rena.
“Tapi Na, ini kesempatan terakhirmu. Ngomong ke dia pas prom nite malam ini, atau kamu gak akan pernah tahu gimana perasaan dia ke kamu, selamanya,“ balas Iffah.
Malam itu jadi malam penting buat Rena. Malam hidup dan mati. Setelah tiga tahun sejak dia merasa dekat dengan Edo, setelah selama itu pula hatinya tersiksa karena perasaan itu, inilah saatnya ia membuka cinta yang hanya ia bungkus rapat di hatinya.
Selama ini Rena adalah satu-satunya cewek yang dekat dengan Edo, hingga perasaan itu menghampiri dan mengharuskannya menunggu. Rena hanya bisa berharap karena baginya menyatakan cinta lebih dulu itu pantangan besar yang gak boleh sekalipun dilanggar. Dia juga tak pernah tahu bagaimana perasaan Edo yang sebenarnya terhadapnya.
Entah bagaimana awalnya, mereka menjadi dekat menjelang Ujian Nasional SMP. Edo yang rumahnya tidak begitu jauh dengan Rena mengawali cinta diam-diam itu dengan belajar bersama. Awalnya Rena hanya biasa saja, tetapi seiring berjalannya waktu, hati Rena tak kuasa menahan terjangan angin cinta yang melambungkan hatinya begitu tinggi. Cewek mana yang bisa tahan ketika ada cowok baik, kalem, misterius seperti Edo datang mendekat dengan cara yang sangat halus? Tanpa sadar kemudian Rena menjadi satu-satunya cewek yang terlihat sering bersama dengan Edo. Dengan gaya cool-nya Edo seakan menutup diri untuk bisa di dekati cewek lain di sekolahnya.
Hari-hari sering mereka lalui bersama. Jalan, ke toko buku, ke perpustakaan, bahkan ketika duduk-duduk di taman SMA Manunggal tanpa sengaja Tuhan mempertemukan mereka. Edo sering terlihat didekati cewek-cewek di SMAnya, tetapi mereka semua seakan tidak sedikitpun mendapat respon dari Edo. Sikap misteriusnya berlaku untuk siapa saja, kecuali Rena.
Tanpa terasa malam itu adalah malam terakhir di tahun ketiga sejak Rena memulai siksaan demi siksaan di hatinya. Setelah sebulan lalu dia mendapatkan ujian terberat buat hatinya ketika mengetahui bahwa Edo berpacaran dengan Vina tanpa sepengetahuannya, kini dia dihadapkan dengan situasi yang lebih sulit tatkala harus merendahkan harga diri seorang wanita demi mengetahui perasaan pria idamannya. Harapan yang bertahun-tahun terpendam telah luluh lantak sejak Vina datang dan membawa Edo pergi. Namun, tanya itu masih tersisa dan belum sempat terjawab.
Hati Rena terus-menerus menangis. Logikanya tak lagi relevan dengan keadaannya sekarang. Apa arti kedekatan mereka selama ini? Apa Edo hanya menganggap Rena teman? Atau sahabat? Atau Edo gak pernah merasa bahwa Rena sangat mengaguminya? Dan kini Rena harus menerima bahwa Edo menjadi pacar Vina. Apa itu artinya Edo telah berhasil mempermainkan hatinya?
Semua pertanyaan itu hanya berputar-putar di otak Rena tanpa mendapat penjelasan logis sedikitpun dari pikirannya. Satu-satunya harapan yang mungkin dapat mengungkap semua tanya itu ada di prom nite malam ini. Setelah berpikir panjang, akhirnya Rena memutuskan untuk menyatakan perasaannya yang sebenarnya kepada Edo.
Pukul 20.30, ketika Raphot band sedang menghibur anak-anak SMA Manunggal malam itu, Rena mengirimkan pesan singkat untuk Edo.
“Temui aku 10 menit lagi, di taman samping, sendirian.” Begitu bunyi sms Rena.
Tanpa menunggu jawaban dari Edo, Rena menyiapkan mental, hati dan pikirannya untuk menerima apapun anggapan Edo terhadapnya nanti. Rena siap. Dia benar-benar siap.

To be continued...

Selasa, 05 Oktober 2010

Kecil, tetapi sangat Indah (part II)

“ luv u. . .”
Cuma itu.
Gue bertanya-tanya. Rena adalah tipe cewek cuek yang seinget gue gak pernah melakukan hal semacam ini. Lama kami PDKT dan se-lama itu pula dia gak pernah menunjukkan gelagat menyambut uluran cinta dari gue. Disini konteksnya bisa diartikan bahwa dia seakan cuek dengan kedekatan kami. Itu yang bikin gue pada awalnya gak yakin bakal diterima. Tapi akhirnya gue sadar, cuek itu bisa jadi emang sifatnya, atau setidaknya sikap yang sudah sangat melekat pada jiwanya dan menjadi standar perlakuan untuk tiap cowok yang mendekatinya. Bahasa gue lumayan susah ya? Gue juga kadang bingung kalau baca tulisan-tulisan gue sendiri. Ya sudahlah,pokoknya begitu itu maksud gue.
Gue bales smsnya.
“luv u 2… kok udah bisa sms? Kamu dimana sayang?”
Jelas gak mungkin kalau dia udah di rumah.
Akhirnya gue nunggu,nunggu, dan nunggu, 15 menit dari gue bales sms si Rena, hape gue kembali bergetar. Itu balesan dari Rena !
“ hehehe… ini baru aja nyampe rumah. Tadi di lampu merah, tiba-tiba inget kamu… :p “
Dia berhasil membuat gue tersenyum karena cinta sebanyak 3 kali di hari ini. Gue rasa itu dosis yang paling tepat buat gue. Gue bahagia karena dia melakukan hal-hal kecil yang menurut gue sangat-sangat berpengaruh dalam menjaga kualitas hubungan kami berdua. Mungkin kalau cewek-cewek sering bilang ini “so sweet” dan sangat berkesan.
Pesen gue, jangan lupain hal-hal kecil, termasuk nungguin kebo Lo ngabisin rumputnya, karena itu selain sebagai wujud perhatian, itu juga bakal jadi “sweet”-nya kisah kalian.
Semoga bermanfaat...

Kecil, tetapi sangat Indah (part I)

Manusia adalah makhluk yang sering menggampangkan sesuatu. Itulah sebabnya kadang-kadang manusia lupa, atau bahkan sering melupakan hal-hal sepele yang tanpa disadari itu penting, misalnya dalam sebuah hubungan yang kita sebut dengan pacaran.
Gue Kebo, nama pemberian dari cewek gue. Gue sempat kepikiran gimana perasaan nyokap-bokap gue sewaktu tau anaknya yang paling ganteng ini namanya berubah dengan sangat mengenaskan semacam itu. Hahaha. Tapi it’s OK lah, buat orang yang special gue relakan nama pemberian ortu gue itu, yang mungkin dulunya diperhitungkan dengan sangat matang, melalui beberapa tahap seleksi yang rumit, dan mungkin melalui perdebatan disertai pertapaan panjang, kini berubah menjadi nama hewan yang item, dekil, dan jauh berbeda dari kenampakan asli gue. Sangar!
Kita balik ke topik utama.
Hari ini gue menemukan poin-poin penting yang musti gue garis bawahi.
Pagi, 07.00…
Kampus masih sepi ketika kaki ini melangkah keluar dari lift lantai 5. Perkuliahan harus mundur gara-gara penjaga pintu belum juga membuka ruang kuliah. Mungkin semalam dia nge-ronda, terus pulang pagi, dimarahin istrinya dikira selingkuh, akhirnya tidur di musholla, terus kesiangan. Terlalu mengada-ada.
Rena udah sms gue pagi tadi, bilang bakal telat datang ke kelas. Dia minta dikosongin kursi di sebelah gue. Oke, sebagai cowok pengertian, gue dengan senang hati datang kepagian dan menunggu juru kunci datang. Gue sempat berpikiran negative kalau si Rena termasuk ke dalam golongan “Kebo Tingkat Atas” alias tukang molor. Hahaha. Mungkin itu yang melatar-belakangi dia menamai gue dengan sebutan “KEBO” yang sebenarnya hanya alibi dia untuk menghilangkan dugaan atas dirinya. Rumit sekali…
07.20, perkuliahan sudah berlangsung lebih-kurang 5 menit, dan Rena kemudian datang dengan senyumnya yang khas. Seakan lupa kalau dia datang telat, dan seakan gak punya dosa apa-apa. Tapi yang terpenting yang gue rasa, dia seakan seneng banget karena gue mau datang pagi dan nyiapin satu kursi di depan buat dia. Poin pertama, hal sepele yang mungkin bakal jadi hal yang sangat mengesankan adalah… sedikit perhatian kecil buat pasangan anda.
Senyum pertama gue pagi ini.
Mungkin lo gak ngerasa. Hal-hal semacam ini walaupun terlihat sepele, tapi seakan jadi bumbu/pelengkap dalam sebuah hubungan. Efeknya juga bakal manis di akhir karena itu artinya lo memperhatikan celah terkecil yang bisa membuat pasangan lo ‘seneng’ bisa jadi pacar lo.
Bayangin seandainya sewaktu gue buka mata tadi pagi dan liat sms dia yang bilang bakal datang telat, terus gue bales smsnya gini :
“ Lo jadi cewek males banget, sih?” atau … “harusnya Lo donk yang dateng duluan, bukan gue…”
Atau kemungkinan lain : “gue juga bakal telat, gue masih ngantuk…”
Di mata dia gue bakal jadi Kebo dongo yang udah males, gak pengertian lagi. Bukan cuma itu… kalau setelah itu malah timbul niat dari dia untuk selingkuh sama onta, misalnya, ‘kan bakal berabe urusannya…
Kelas pertama selesai.
Gue keluar bareng dia dan ngajak dia sarapan. Dia mikir-mikir dulu sebelum akhirnya meng-iya-kan. Sampai di sebuah Rumah Makan Padang deket kampus, gue ambil makanan dan dia cuma pesen jus tomat. Terus gue nanya, kan… “kamu napa gak sarapan sekalian?” dia jawab, “belum laper, Bo…” sambil tersenyum. Akhirnya dia cuma nungguin gue makan. Bener-bener kaya juragan kebo yang ngasih rumput buat kebonya, ditungguin sampai habis, baru dia tinggalin tu kebo. Itu terjadi ke gue pagi ini.
Habis makan gue masuk ke kelas dan dia pulang karena gak ada kelas. Sore ini baru gue tau kalau tadi sewaktu gue masuk kelas, dia gak balik ke rumah. Dia ada rapat LEM (mungkin) dan sampai siang dia di kampus.
Poin kedua yang gue dapet hari ini, Rena merelakan waktunya buat gue. Dia anak organisasi yang punya kesibukannya sendiri, tapi masih sempet-sempetnya nemenin gue makan (walaupun mungkin sebenernya terpaksa). Gue juga lihat, datar-datar aja dan tanpa keluhan sedikitpun ketika dia harus mengundur rapatnya demi kasih makan kebonya (gue-red).
Gue tersenyum untuk kedua kalinya di pagi ini.
Dan sore ini ada kelas terakhir buat hari ini. Seperti pasangan baru kebanyakan, kami duduk berdekatan (lagi) di kelas. Ya, itung-itung pendekatan tahap lanjut, lah. Gue sih seneng-seneng aja. Gak tau deh dia gimana.
Kelas tanpa terasa cepat berlalu, dan kami pun harus berpisah. Gak tau kenapa rasanya masih pengen berduaan untuk waktu yang lebih lama. Tapi itu jelas sesuatu yang dipaksakan, karena kami udah cukup lama bareng buat hari ini. Gue balik ke kos dan dia balik ke rumahnya. Rumah dia kira-kira 25 menit perjalanan dari kampus, kalau gak macet. Ada perasaan yang tertinggal sewaktu gue harus merelakannya balik ke rumah ortunya. Tapi itu memang harus terjadi.
Kira-kira 5 menit setelah gue melihat senyum terakhir Rena buat gue hari ini, hape gue bergetar. Ternyata itu sms dari dia dan isinya sangat mengejutkan...

Bersambung...

Senin, 04 Oktober 2010

Kutukan Itu pun Pergi

Kutukan datang ketika gue putus dengan cinta ke-11 gue. Dalam catatan sejarah gue, gue adalah cowok yang pantang berlama-lama nge-jomblo. Bukan sebuah kebohongan, walaupun gue secara pribadi mengakui kalo gue ini gak keren, jauh dari oke, tapi gue yang seperti ini pada zaman dahulu kala termasuk tipe cowok yang gampang dapet cewek. Lo mungkin bisa mengkategorikan gue sebagai cowok bajingan kala itu. Pendapat ini gue dapet dari Raditya Dika yang mengkategorikan cowok itu dalam dua kelompok yang gue bisa setujui. Pertama, cowok itu BAJINGAN. Kedua, kalo nggak bajingan berarti dia HOMO! Dan gue bukan homo!! Gue terima kalo lo anggap gue bajingan. Sadis!
Kembali ke masalah kutukan.
Gue pernah menganggap cerita ke-11 dalam hidup gue bakal jadi kisah kekal untuk selamanya. Itu yang gue pikirin zaman dulu. Sampai akhirnya cerita ke-11 gue harus berakhir dengan kata “putus”. Disinilah kutukan itu bermula. Kakak sepupu gue, nyit-nyit (nama samaran), bilang ke gue kalo setelah gue putus ini gue bakal ngejomblo seumur hidup. Entah gimana ceritanya sampai terbentuk sugesti mengerikan dalam otak gue yang menyatakan bahwa gue gak akan laku dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.
Awalnya gue gak pernah mikirin itu. Gue termasuk tipe cowok yang PD (sebenernya lebih pantes disebut sok keren) dan juga cuek (yang sebenernya gak tau malu). Gue bisa deket sama banyak temen dan itu bikin gue enjoy sama masa jomblo gue. Gak kerasa 1 bulan berlalu dan gue masih stagnant, tidak beranjak dari kata ‘tidak laku’. Tekanan social dan bermacam cibiran datang dari berbagai pihak, termasuk bokap gue. Masa’ anaknya sendiri diledekin dan dibilang payah? Tante gue juga bilang gue ini telah lepas dari masa muda. Apa itu artinya gue setara sama opa-opa duda yang kesepian dan gak bisa ngedapetin cewek impiannya? (baca : oma-oma tetangga sebelah).
Bulan pertama, bulan kedua, gue bisa mengelak dan bilang ke semua orang kalau gue lagi pengen focus ke kuliah gue dulu. Mereka bisa menerima alasan yang sangat mulia (dan munafik) ini. Gue yang sempat berpikir bahwa gue menambah title gue dengan ‘gak laku’, sehingga kalau dibaca bakal jadi ‘bajingan gak laku’, bakal gampang menghandle semua ini kalau gue udah niat cari pacar lagi. Namun, seiring berjalannya waktu pikiran gue pun luntur, luntur, luntur, dan berganti menjadi rasa takut, parno, trauma yang mendalam yang membekas di hati dan pikiran gue. Lebay.
Hingga pada akhirnya, bulan kedua mendekati ujungnya, dan bertepatan dengan keluarnya IP semester genap tahun ini. Gue bener-bener kecewa ketika ngliat IP gue gak bagus-bagus amat. Kecewa gue bukan karena gue ngerasa gagal belajar lho ya? Tapi lebih karena gue bakalan kebingungan kalau orang-orang tau alasan gue nge-jomblo selama ini yang katanya pengen focus kuliah itu Cuma kedok semata. Mampus!
Disini gue merasa perlu ngedapetin title “bajingan” gue lagi karena selain kesepian, jujur gue juga termasuk tipe cowok yang harus menyayangi seseorang. Gimana tu? Pokoknya baca aja seperti itu.
Gue larut dalam perenungan panjang dalam hidup gue. Kadang, otak bego gue takut kalau temen-temen lama-kelamaan bakal memasukkan gue dalam kategori “homo”, tapi otak sadar dan pinter gue lebih takut kalau gue masuk lagi dalam kategori “bajingan”. Disini akhirnya gue memutuskan untuk memecahkan dormansi kutukan yang membungkus status gue hingga seperti sekarang. Gue bakal lepas dari kutukan ini melalui cara yang mulia, bijaksana, dan adil. Kata-kata itu gue ambil dari dosen Kewarganegaraan gue. Hingga pada akhirnya gue ketemu sama seorang cewek bernama Rena (nama samaran). Dia adalah orang yang mampu mengubah teori yang Dika tulis di buku “Marmut Merah Jambu”. Mengubah kelompok Bajingan, menjadi kelompok “anak baik”. Hingga dapat disimpulkan teori barunya adalah seperti ini:
Cowok dibagi menjadi 2 kelompok
Pertama, cowok baik. Kedua cowok bajingan dan/atau homo.
Dan beginilah kesimpulan logis yang gue harus perjuangkan, yaitu gue harus masuk ke dalam kategori “cowok baik” bukan lagi sebagai “bajingan”. Lebih pantas dibaca kan sekarang?
Dia benar-benar mengubah hidup gue.
Di awal kedekatan kami, gue emang rada ragu. Gue sempat punya bayangan kalau tokoh yang bakal hadir dalam cerita ke-12 gue adalah Dara – The Virgin. Terlalu bermimpi emang, tapi gue yakin gue bisa. Walaupun pada akhirnya gak kesampaian juga.
Hingga gue memutuskan menerima Rena untuk casting menjadi tokoh utama gue. 2 bulan masa casting akhirnya gue menetapkan pilihan gue untuk memilih dia menjadi tokoh utama yang sebenarnya.
Rena anaknya memang biasa aja, gak superstar seperti Dara – The Virgin, dia juga gak se-cantik Dara. Ya bisa dibilang 11-13 lah. Hehe
Tapi dibalik itu gue yakin Rena punya hati yang kan sampai mati mencintaiku, bukannya sekedar janji seperti cinta yang lain ( 17 – Jangan Sakiti Aku)
Hingga akhirnya terjadilah hari yang bersejarah ini. Dimana Indonesia akan mengenangnya!! 3 Oktober : Hari Bebas Kutukan Nasional. Serem!!!
Hingga tulisan ini dibuat, aku belum menemukan alasan lain untuk mengubah kategori yang Dika buat. Yang jelas, sebagai cowok baik yang bukan bajingan apalagi homo, gue berterima kasih banget sama Rena yang telah menjadikan gue sebagai sesosok yang seakan terlahir kembali. Gue yakin cerita lain bakal terjadi, jauh lebih indah, jauh lebih dalam…
Selamat tinggal kutukan!!!
Dan gue bisa dengan bangga bilang ke bokap gue, ANAKMU UDAH LAKU LAGI,BOSS!!!

Dan semoga gue dan Rena bakal mengukir cerita-cerita indah, bukan sekedar seneng-seneng semata.

Amiinn...